Jumat, 09 Desember 2016

AL-KINDI; Failasuf Arab - Muslim Pertama



 Al- Kindi (185 H/801 M – 260 H/873M) adalah failasuf Arab muslim pertama. Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Ibn Sabbah Ibn Imran Ibn Ismail Al-Ash’ats bin Qais Al-Kindi. Lahir di Kufah, pada tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M).[1]

Diantara failasuf yang pernah dilahirkan Islam pada abad pertengahan, hanya Al-Kindilah yang berkebangsaan Arab.[2] Menurut Fuad Ahwani, Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar, dan kaya. Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi Muhammad Saw dan menjadi salah seorang sahabat Rasul. Lalu mereka pindah ke Kufah. Di Kufah, ayahnya, Ishaq Ibn Sabbah, menjabat sebagai gubernur pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-876 M), juga Harun Al-Rasyid (876-909 M).

Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung, fiqh, dan teologi. Di samping Basrah, Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam yang cenderung pada studi keilmuan rasional (aqliyah).[3] Tampaknya kondisi dan situasi inilah yang kemudian mempengaruhinya untuk memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.

Al-Kindi lalu pindah ke Baghdad. Di sana ia mencurahkan perhatiannya untuk menerjemah dan mengkaji filsafat serta pemikiran-pemikiran rasional lainnya. Menurut Al-Qifthi, ia banyak menerjemahkan buku filsafat, menjelaskan hal-hal pelik lalu meringkaskan teori-teorinya. Hal itu diyakini karena Al-Kindi menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria. Sebab kemampuannya itu, ia juga mampu memperbaiki hasil terjemahan orang lain.

Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, bertemu dan berteman baiklah ia dengan Khalifah Al-Makmun (813-833 M), seorang khalifah yang berpemikiran rasional dan filsafat. Lebih dari itu, ia kemudian diangkat menjadi penasihat dan guru istana pada masa Khalifah Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Watsiq (842-847 M). Posisi itu masih tetap dipegangnya pada masa awal kekuasaan Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M), yang kemudian ia dipecat akibat hasutan orang yang iri atas prestasi-prestasi yang dicapainya.[4]

Sikap iri dan permusuhan seperti inilah yang tampaknya telah memunculkan informasi-informasi negatif tentang watak dan sikap Al-Kindi. Misalnya, Al-Kindi ditampilkan sebagai sarjana yang pelit dan kikir. Sifatnya ini ditampilkan sebanding dengan popularitas dan prestasi keilmuannya. Namun, George N. Atiyeh meragukan kebenaran informasi tersebut. Sebab, menurutnya, para pengkritiknya juga tidak dapat melakukan hal lain kecuali memuji prestasi-prestasi akademik dan filsafatnya.

Al-Kindi meninggal di Baghdad pada tahun 873 M. Menurut Atiyeh, Al-Kindi meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh orang-orang terdekatnya saja. Ciri khas kematian orang besar yang tak lagi disukai, sekaligus ciri kematian filsuf besar yang menyukai kesunyian.[5]

Sebagian besar karya Al-Kindi (berjumlah sekitar 270 buah) hilang. Ibn Al-Nadim dan Al-Qifti mengelompokkan tulisan-tulisannya yang berupa makalah menjadi tujuh belas, yaitu: filsafat, logika, ilmu hitung, globular, musik, astronomi, geometri, sperikal, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, meteorologi, dimensi, ramalan, logam, dan kimia, dll. Cakupan karya-karya tersebut menunjukkan luasnya wawasan dan pengetahuan Al-kindi.

Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh Gerard (1114-1187 M), tokoh dari Cremona, Italia, ke dalam bahasa Latin dan memberi pengaruh besar pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena itu, Geraloma Cardano (1501-1576 M), seorang tokoh matematika asal Italia, menilai Al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal Eropa saat itu.[6]

Al-Falsafah Al-Ula adalah salah satu judul bukunya yang dipersembahkan kepada Khalifah Al-Musta’shim sekaligus menggambarkan pemikiran metafisikanya yang didasarkan atas konsep-konsep dari Aristoteles (384-322 SM). Pemikiran metafisika Al-Kindi, menurut George N. Atiyeh, diinspirasikan dari gagasan Aristoteles tentang Kebenaran pertama, tidak didasarkan atas ide-ide Plotinus (204-270 M) sebagaimana kebanyakan failasuf Muslim sesudahnya. Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran. Karena itu, Al-Kindi menggambarkan metafisika sebagai pengetahuan yang paling mulia, karena subjek kajiannya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua realitas (Causa Prima). Berdasarkan hal ini, Al-Kindi kemudian mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiah, yang dalam konsep Aristoteles disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak. Dalam segi agama, argumen Al-Kindi sejalan dengan Ilmu Kalam; adanya alam mengharuskan adanya pencipta, yang mencipta dari tiada (creatio ex nihilo). Namun, cakupan kajiannya tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being qua being) sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles, tetapi hanya terbatas pada masalah Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatif-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam ciptaan. Artinya, Al-Kindi mengikuti Aristoteles tetapi tidak sama persis. Dan disinilah orisinilitas Al-Kindi.

Pandangan Al-Kindi mengenai epistemologi dapat dikenali dari pandangannya mengenai filsafat. Filsafat dirumuskannya sebagai berikut: “Filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu Ketuhanan, ilmu Keesaan (Wahdaniyah), ilmu Keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya, serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan”.

Al-Kindi membagi akal menjadi empat jenis: akal murni, akal potensial, akal aktual, dan akal yang selalu tampil. Akal murni berada di luar jiwa. Akal ini selalu aktif dan bersifat Ilahi.

Mengenai pengetahuan, Al-Kindi mengelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Pengetahuan Ilahi (define science), yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan; (2) Pengetahuan Manusiawi (human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason). Argumen-argumen yang dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada yang ditimbulkan filsafat. Kedua pengetahuan ini tidak saling bertentangan, hanya dasar dan argumentasinya saja yang berbeda. Dengan kata lain, pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang menggunakan akal, sedangkan pengetahuan Ilahi berasal dari wahyu. Selanjutnya Al-Kindi membagi pengetahuan manusiawi menjadi dua, aqli dan naqli. Pengetahuan pertama dapat mengungkapkan hakikat sesuatu, sedangkan pengetahuan terakhir hanya dapat mengungkapkan bagian-bagian sifat dari objeknya. Hakikat yang dimaksud adalah sifat-sifat umum dari objek.[7]

Sedangkan mengenai etika, Al-Kindi dalam filsafatnya mengatakan bahwa filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau kemampuan manusia. Maksud definisinya ini, manusia memiliki keutamaan yang sempurna (keutamaan manusiawi). Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan ini tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, asas dalam jiwa, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal), yang kemudian dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (sajaah), dan kesucian (‘iffah). Keutamaan kejiwaan tersebut merupakan benteng keutamaan yang pada umumnya menjadi pemisah antara keutamaan dan kenistaan. Dengan kata lain, menjadi induk dari keutamaan lainnya. Oleh karenanya, lebih atau kurangnya tiga keutamaan tersebut dianggap sebagai kenistaan. Kedua, keutamaan yang tidak terdapat di dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga keutamaan di atas. Ketiga, hasil kadaan lurus dari tiga macam keutamaan di atas yang tercermin dalam keadilan.

Dari uraian tersebut, diperoleh konklusi bahwa keutamaan-keutamaan manusiawi terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan dalam buah yang dihasilkan oleh sifat-sifat tersebut. Jika orang hidup memenuhi nilai-nilai tersebut, niscaya hasilnya ia akan hidup bahagia. Selagi manusia menjadikan hidup bahagia sebagai tujuan akhir hidupnya, maka orang itu harus membekali diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut.[8]

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi adalah failasuf Islam yang mula-mula secara sadar mempertemukan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya, menurutnya, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal diluar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian, Al-Kindi tidak sependapat dengan para failasuf Yunani dalam hal-hal yang dirasa bertentangan dengan ajaran agama Islam yang diyakininya.


[1] Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 88.
[2] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 62.
[3] M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, peny. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1992), 12.
[4] Ibid, 12-13.
[5] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filasafat Islam, (Dina Utama Semarang: Semarang), 2.
[6] Op cit, 13.
[7] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam; Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (UI-Press: Jakarta, 2006), 43.
[8] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Pustaka Setia: Bandung, 2007), 110-111.

Selasa, 29 November 2016

STRUKTUR DAN FUNGSI PRONOMINA PERSONAL DAN DEMONSTRATIVA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbagai proses morfologi, baik afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, maupun konversi, semuanya bertugas membentuk kata, sebagai satuan dalam ujaran. Dalam kriteria klasifikasi kelas kata dikenal adanya kelas verba, nomina, adjektiva, adverbia, numeralia, preposisi, konjungsi, pronomina, artikula, dan interjeksi. Dari semua itu, dibagi lagi klasifikasi kata menjadi kelas terbuka dan kelas tertutup. Masing-masing kelas kata memiliki konsepnya masing-masing, diantaranya ada yang membawa konsep budaya, hitungan, perangkai, pendamping, dsb. Maka dari itu, pembahasan yang terlalu umum tidak akan bisa dibahas secara mendalam. Dengan begitu, kami sebagai pemakalah, akan membahas secara khusus tentang kelas pronomina, yang pembahasannya kemudian dikerucutkan lagi menjadi pronomina personal dan demonstrativa saja agar bisa didapatkan pembahasan yang lebih mendalam.

B.    Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, pemakalah merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

  1. Apa itu pronomina personal?
  2. Apa itu pronomina demonstrativa?
  3. Bagaimana struktur dari pronomina personal dan demonstrativa?
  4. Apa saja fungsi yang dimiliki pronomina personal dan demonstrativa?

C.    Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah di atas, yaitu sebagai berikut: 

  1. Mahasiswa mengetahui pengertian dari pronomina personal;
  2. Mahasiswa mengetahui pengertian dari pronomina demonstrativa;
  3. Mahasiswa memahami struktur dari pronomina personal dan demonstrativa;
  4. Mahasiswa memahami fungsi yang dimiliki pronomina personal dan demonstrativa.



BAB II
PEMBAHASAN

Pronomina
Pronomina lazim disebut kata ganti karena tugasnya memang menggantikan nomina yang ada. Pronomina dalam kajian morfologi, pembahasannya dikategorikan menjadi anggota kelas kata (Aqsam al kalimah), yang masuk dalam kategori nomina (ism) selain dari adjektiva (shifah), numeralia (adad), adverbia (dzharaf), dan demonstrativa (isyarah).[1] Secara umum, pronomina dibedakan menjadi empat macam, yaitu pronomina personal, pronomina demonstrativa, pronomina interogativa, dan pronomina tak tentu. Adapun pembahasan pada makalah ini hanya terfokus pada dua macam pronomina saja, yaitu pronomina personal dan pronomina demonstrativa.
1.      Pronomina Personal
Pronomina personal adalah kata ganti diri yang menggantikan nomina orang atau yang diorangkan, baik berupa nama diri atau bukan nama diri.[2] Pronomina terbagi dua, pronomina takrif (terbatas pada pronomina persona (orang)) dan pronomina tak takrif, yaitu pronomina yang tidak menunjuk pada orang atau benda tertentu, misalnya: sesuatu, seseorang, barangsiapa, siapa, apa-apa, anu, dan masing-masing.[3]
Adapun dalam bahasa Arab, pronomina personal lazim disebut الضّمير (dhamir). Pada pronomina personal (dhamir) ini, dalam kaidah bahasa Arab, perbedaan gender atau kelamin (maskulin atau feminin), bilangan (tunggal, ganda, atau jamak), dan juga orang atau persona[4] (pertama, kedua, atau ketiga) juga ditampilkan. Oleh karenanya, kategori pronomina personal dalam bahasa Arab lebih banyak daripada kategori pronomina personal yang ada dalam bahasa Inggris.[5]
Pronomina dalam bahasa Arab kemudian dibagi menjadi dua, pertama, pronomina yang secara sintaksis dan fonologis bisa berdiri sendiri, yang dalam tata bahasa Arab disebut الضميرالمنفصل (pronomina bebas), kedua, الضميرالمتصل yang lazim disebut pronomina terikat.[6]
a)      Pronomina bebas (dhamir munfashil)

Pada nomina, selalu ada perubahan vokal akhir yang menunjukkan fungsinya dalam sebuah kalimat, baik nominatif, akusatif, maupun genitif. Berdasarkan subkategorisasi itulah, pronomina bebas ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pronomina bebas nominatif dan pronomina bebas akusatif.

1)      Pronomina bebas nominatif (dhamir munfashil marfu’)


Tunggal (mufrad)
Ganda (mutsanna)
Jamak (jama’)
Orang pertama
أناَ (MF)

نَحْنُ (MF)
Orang kedua 
أنتَ (M)
أنتِ (F)
أنتما (MF)
أنتُمْ (M)
أنتنَّ (F)
Orang ketiga
هُوَ (M)
هِيَ (F)
هما (MF)
هُمْ (M)
هنَّ (F)

Pronomina bebas berkasus nominatif ini menduduki empat macam fungsi[7] selain menduduki fungsi sebagai subjek atau pelaku verba. Adapun empat fungsi itu  sebagai berikut:

a.       Mempertegas pelaku verba (subjek)
Adapun contohnya yaitu sebagai berikut:

فهم في ريبهم يتردّدون  (9: 45)
b.      Menjadi subjek pada kategori kalimat nomina (ismiyah), contoh:

وتزهق أنفسهم وهم كافرون (9: 55)
Kelak mereka akan mati dalam keadaan kafir

هؤلاء بناتي هنّ أطهر لكم (11: 78)
 Inilah putri-putri (negeri) ku, mereka lebih suci bagimu

c.       Menjadi predikat pada kategori kalimat nomina (ismiyah), contoh:
هذا هو   Ini dia      
d.      Sebagai kopula (fasil), contoh:

المهم هو العودة  yang terpenting itu pengembaliannya       

2)      Pronomina bebas akusatif (dhamir munfashil manshub)


Tunggal (mufrad)
Ganda (mutsanna)
Jamak (jama’)
Orang pertama
إيّاي (MF)

إيّانا (MF)
Orang kedua 
إيّاكَ (M)
إيّاكِ (F)
إيّاكما (MF)
إيّاكم (M)
إيّاكنّ (F)
Orang ketiga
 إيّاه(M)
إيّاها (F)
إيّاهما (MF)
إيّاهُمْ (M)
إيّاهنَّ (F)

Dari beberapa struktur di atas, pronomina bebas berkasus akusatif ini memiliki fungsi hanya sebagai objek verba, misal:

نحن نرزقكم و إيّاهم (6: 151)
Kami memberi rizki kepadamu dan kepada mereka (anak-anak kamu)
إيّاك نعبد وإيّاك نستعين (1: 4)
Kepadamu kami menyembah dan kepadamulah kami memohon pertolongan

b)      Pronomina terikat (dhamir muttashil)
Pronomina terikat (dhamir muttashil) merupakan kata ganti yang penulisannya bersambung dengan kata lain atau tidak bisa berdiri sendiri.[8] Pronomina ini juga memiliki fungsi seperti pada pronomina bebas di atas. Namun, pada jenis pronomina ini, fungsi itu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu nominatif, akusatif, dan juga genitif.[9] Pronomina terikat (dhamir muttashil) terdapat pada verba perfektif (fiil madhi), verba imperfektif (fiil mudhore’), verba imperatif (fiil amr). dan ada juga pada kalimat kepemilikan (possessive pronoun).

Adapun fungsi pronomina terikat yaitu sebagai berikut beserta contoh:
1)      Pronomina terikat nominatif
Pada fungsi nominatif (marfu’), pronomina ini berfungsi sebagai subjek pada bentuk verba perfektif, imperfektif, maupun imperatif, contoh:

شاهدت مناظر الجميلة في بوجور
Saya melihat pemandangan indah di Bogor
أحمد يطالع الدرس في حجرته
Ahmad sedang mengulang pelajaran di kamarnya
اضرب بعصاك الحجر!
Pukulkanlah (kamu (M)) tongkatmu ke batu itu!
2)      Pronomina terikat akusatif
Pronomina ini berfungsi sebagai objek. Adapun contohnya yaitu sebagai berikut:

إنتظرناه بعد ثلاثة أيّام
Kami menunggunya (M) selama tiga hari
3)      Pronomina terikat genitif
Fungsi pronomina ini ada dua macam, bisa menjadi adjektif atau menunjukkan kepemilikan (possessive pronouns) jika bersambung dengan nomina sehingga menjadi konstruksi frasa (idhifah), contoh; كتابها (buku-nya (F)) dan bisa juga menjadi objek jika digabungkan dengan preposisi (harf jar), contoh; زينب ترغب فيه (zainab menyukai-nya (M)).[10]
2.      Pronomina Demonstrativa

Pronomina demonstrativa atau kata ganti penunjuk adalah kata ini dan itu yang digunakan untuk menggantikan nomina (frase nominal atau lainnya) sekaligus dengan penunjukan. Kata ganti penunjuk ini digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dekat dari pembicara, contoh; penderitaan anak-anak ini harus kita hentikan; sedangkan kata ganti penunjuk itu digunakan untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara, contoh; buku itu belum saya baca.[11] Namun, dalam bahasa Melayu lama, ada kata ganti penunjuk untuk menunjukkan benda yang berada pada tempat orang ketiga, yaitu kata ana. Kemudian kata itu jarang digunakan hingga akhirnya hilang sama sekali dari perbendaharaan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, kita masih tetap menemukan residu dalam pemakaian sehari-hari, seperti; sana, sini, situ.[12]
Dalam bahasa Arab, pronomina demonstrativa disebut sebagai إسم الإشارة. Perbedaan gender dan bilangan ditampilkan pada bentuk demonstrativa ini. Adapun strukturnya yaitu sebagai berikut:

Maskulin (mudzakkar)
Feminin (muannats)
Tunggal (mufrad)
   ذا/  هذا
تا  / هذه
Dua (mutsanna)
Nominatif
ذان/  هذان
تان /  هاتان
Akusatif/genitif
ذين /  هذين
تين /  هاتين
Jamak (jama’)
أولاء /  هؤلاء
أولاء /  هؤلاء

Sedangkan struktur demonstrativa yang jauh dari pembicara (itu) sebagai berikut:

Maskulin (mudzakkar)
Feminin (muannats)
Tunggal (mufrad)
   ذاك/  ذلك
تا /  تلك   
Jamak (jama’)
أولئك
أولئك

Ada pula pronomina demonstrativa dengan kata sana, sini, dan situ. Kata sana menunjukkan tempat yang jaraknya jauh dari pembicara dan yang diajak bicara. Kata sini menunjukkan tempat yang dekat dengan pembicara. Sedangkan kata situ, menunjukkan tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pembicara. Adapun dalam bahasa Arab, kata ganti tunjuk tempat juga memiliki strukturnya yaitu;
هنا  / ههنا
Kata ini digunakan untuk menunjukkan tempat yang dekat dengan pembicara, contoh;

إنا هاهنا قاعدون
Kami di sini duduk
هناك هاهنك هنالك هنا هنا ثم
Adapun kata-kata di atas yaitu untuk menunjukkan tempat yang jauh dari pembicara.



Adapun fungsi dari pronomina demonstrativa yaitu ada delapan fungsi[13], diantaranya yaitu:
a)      Pronomina demonstrativa yang berdiri sendiri

على رغم ذلك meskipun begitu       

لكن هذا لا يكفي tapi ini tidak cukup  
b)      Frasa demonstratif
هذا اللون warna ini     

هؤلاء الناس orang-orang ini   

c)      Bentuk kedua pada Frasa (idhafah)/  demonstrative with second term of Idhafah

قيمة هذه السيّارة harga mobil ini  
d)     Bentuk pertama pada Frasa (idhafah) / demonstrative with first term of Idhafah

وجهة النظرهذه  sudut pandang ini 
e)      Demonstratif pada bentuk kepemilikan

في كتابه هذا pada bukunya ini  
f)       Demonstratif pada nama diri

كنت أشرت إلى زين هذا  saya serahkan kepada Zain ini

 
g)      Demonstratif klausa

هذا جوّالي ini handphone saya   
h)      Demonstratif klausa dengan kopula

هذا هو الكتابini buku       

تلك هي  نقطة البداية   itulah titik awalnya    








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pronomina lazim disebut kata ganti karena tugasnya memang menggantikan nomina yang ada. Pronomina dalam kajian morfologi, pembahasannya dikategorikan menjadi anggota kelas kata (Aqsam al kalimah), yang masuk dalam kategori nomina (ism) selain dari adjektiva (shifah), numeralia (adad), adverbia (dzharaf), dan demonstrativa (isyarah).[14] Secara umum, pronomina dibedakan menjadi empat macam, yaitu pronomina personal, pronomina demonstrativa, pronomina interogativa, dan pronomina tak tentu. Adapun pembahasan pada makalah ini hanya terfokus pada dua macam pronomina saja, yaitu pronomina personal dan pronomina demonstrativa.
Pronomina persona dari segi struktur dibagi menjadi dua macam, yaitu pronomina bebas (dhamir munfashil) dan pronomina terikat (dhamir muttashil). Sedangkan pronomina demonstrativa hanya ada kata ini dan itu. Kata ini untuk menunjukkan benda yang dekat dengan pembicara dan kata itu menunjukkan benda yang jauh dari pembicara.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahdal, Muhammad bin Abd Al-Bari. Kawakib al-Durriyyah. Surabaya: Dar Al-Ilm.
Al-Ghalayaini . M. (2009). Jami’u al-Durus al-‘Arabiyah . Beirut: Daar al-Fikr.
Ameena, Amanah. Makalah “Pronoun (Isim Dhamir) dalam Bahasa Arab”. Yogyakarta: Academia.
Chaer, Abdul. 2015. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.
Dariyadi, Moch Wahib. Artikel “Kata Ganti atau Pronomina”, Tulisan Terkini.
Fahrurrozi, Aziz dan Muhajir. Gramatika Bahasa Arab. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Hidayatullah, Moch. Syarif dan Abdullah. 2010. Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern). Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Izzah, Nailatul, dkk. 2015. Makalah “Kelas Kata, Ciri, dan Maknanya”. Jakarta: Prodi Tarjamah UIN Jakarta.
Ma’shum, M. (TT). Al-Amtsilatu At-Tashrif. Surabaya: Maktabah Syaikh Salim.
Ryding, Karin C. 2005. A Reference Grammar of Modern Standard Arabic. Inggris: Cambridge University Press.


[1] Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern), (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 63.
[2] Abdul Chaer, Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses),  (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), 87.
[3] Nailatul Izzah, dkk., makalah “Kelas Kata, Ciri, dan Maknanya”, Prodi Tarjamah UIN Jakarta, 2015, 22.
[4] Kata ganti diri biasanya dibedakan atas orang pertama, kedua, atau ketiga, yang masing-masing memiliki ketentuan lawan bicara. Pada orang pertama tunggal biasa digunakan kata aku atau saya. Aku hanya bisa dipakai ketika berbicara kepada sejawat atau yang lebih rendah. Pronomina persona aku memiliki bentuk klitika, baik proklitika ataupun enklitika. Sedang saya, bisa digunakan oleh atau kepada siapa saja. Persona kami pada orang pertama jamak menyatakan rasa hormat (pluralis majestatis) dan kata kita menyatakan jamak yang termasuk lawan bicara. Kata ganti diri orang kedua tunggal kamu dan engkau digunakan terhadap orang yang lebih muda. Kata ganti orang ketiga tunggal ia, digunakan sebagai objek dengan syarat hanya mengikuti bunyi – kan, contoh; merindukan dia. Sedang kata ganti diri nya berada dalam posisi objek dan berlaku sebagai enklitika; contoh; siapa namanya?. Kata ganti orang ketiga jamak mereka bisa digunakan kepada siapa saja, baik dengan atau tidaknya rasa hormat. Adapun untuk orang ketiga tunggal, lazim juga digunakan kata beliau untuk orang yang dihormati atau kata almarhum untuk orang yang sudah meninggal. Abdul, Op. Cit, 87-88.
[5] Karin C. Ryding, A Reference Grammar of Modern Standard Arabic, (Inggris: Cambridge University Press, 2005), 298.
6 Aziz Fahrurrozi dan Muhajir, Gramatika Bahasa Arab, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), 155.
[7] Karin, Op. Cit, 299 – 300.
[8] Amanah Ameena, Makalah “Pronoun (Isim Dhamir) dalam Bahasa Arab”, FIB UGM, 5.
[9] Muhammad bin Abd Al-Bari Al-Ahdal, Kawakib al-Durriyyah, (Surabaya, Dar Al-Ilm), 48.
[10] Amanah, Loc. Cit, 8-9.
[11] Abdul Chaer, 90.
[12] Moch Wahib Dariyadi, Artikel “Kata Ganti atau Pronomina”, Tulisan Terkini.
[13] Karin, 316-319.
[14] Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern), (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 63.