Al- Kindi
(185 H/801 M – 260 H/873M) adalah failasuf Arab muslim pertama. Nama lengkapnya Abu
Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Ibn Sabbah Ibn Imran Ibn Ismail Al-Ash’ats bin Qais
Al-Kindi. Lahir di Kufah, pada tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dari Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M).[1]
Diantara failasuf yang pernah dilahirkan Islam
pada abad pertengahan, hanya Al-Kindilah yang berkebangsaan Arab.[2]
Menurut Fuad Ahwani, Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar, dan
kaya. Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi
Muhammad Saw dan menjadi salah seorang sahabat Rasul. Lalu mereka pindah ke
Kufah. Di Kufah, ayahnya, Ishaq Ibn Sabbah, menjabat sebagai gubernur pada masa
Khalifah Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-876 M), juga Harun Al-Rasyid
(876-909 M).
Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu
ia mempelajari Al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung, fiqh,
dan teologi. Di samping Basrah, Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan
kebudayaan Islam yang cenderung pada studi keilmuan rasional (aqliyah).[3]
Tampaknya kondisi dan situasi inilah yang kemudian mempengaruhinya untuk
memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-Kindi lalu pindah ke Baghdad. Di sana ia
mencurahkan perhatiannya untuk menerjemah dan mengkaji filsafat serta
pemikiran-pemikiran rasional lainnya. Menurut Al-Qifthi, ia banyak menerjemahkan
buku filsafat, menjelaskan hal-hal pelik lalu meringkaskan teori-teorinya. Hal
itu diyakini karena Al-Kindi menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria.
Sebab kemampuannya itu, ia juga mampu memperbaiki hasil terjemahan orang lain.
Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat
dan keilmuan, bertemu dan berteman baiklah ia dengan Khalifah Al-Makmun
(813-833 M), seorang khalifah yang berpemikiran rasional dan filsafat. Lebih
dari itu, ia kemudian diangkat menjadi penasihat dan guru istana pada masa
Khalifah Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Watsiq (842-847 M). Posisi itu masih
tetap dipegangnya pada masa awal kekuasaan Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M),
yang kemudian ia dipecat akibat hasutan orang yang iri atas prestasi-prestasi
yang dicapainya.[4]
Sikap iri dan permusuhan seperti inilah yang
tampaknya telah memunculkan informasi-informasi negatif tentang watak dan sikap
Al-Kindi. Misalnya, Al-Kindi ditampilkan sebagai sarjana yang pelit dan kikir.
Sifatnya ini ditampilkan sebanding dengan popularitas dan prestasi keilmuannya.
Namun, George N. Atiyeh meragukan kebenaran informasi tersebut. Sebab,
menurutnya, para pengkritiknya juga tidak dapat melakukan hal lain kecuali
memuji prestasi-prestasi akademik dan filsafatnya.
Al-Kindi meninggal di Baghdad pada tahun 873
M. Menurut Atiyeh, Al-Kindi meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya
ditemani oleh orang-orang terdekatnya saja. Ciri khas kematian orang besar yang
tak lagi disukai, sekaligus ciri kematian filsuf besar yang menyukai kesunyian.[5]
Sebagian besar karya Al-Kindi (berjumlah
sekitar 270 buah) hilang. Ibn Al-Nadim dan Al-Qifti mengelompokkan
tulisan-tulisannya yang berupa makalah menjadi tujuh belas, yaitu: filsafat, logika,
ilmu hitung, globular, musik, astronomi, geometri, sperikal, medis, astrologi,
dialektika, psikologi, politik, meteorologi, dimensi, ramalan, logam, dan
kimia, dll. Cakupan karya-karya tersebut menunjukkan luasnya wawasan dan
pengetahuan Al-kindi.
Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh
Gerard (1114-1187 M), tokoh dari Cremona, Italia, ke dalam bahasa Latin dan
memberi pengaruh besar pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena itu,
Geraloma Cardano (1501-1576 M), seorang tokoh matematika asal Italia, menilai
Al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal Eropa saat
itu.[6]
Al-Falsafah Al-Ula adalah salah satu judul bukunya yang
dipersembahkan kepada Khalifah Al-Musta’shim sekaligus menggambarkan pemikiran
metafisikanya yang didasarkan atas konsep-konsep dari Aristoteles (384-322 SM).
Pemikiran metafisika Al-Kindi, menurut George N. Atiyeh, diinspirasikan dari
gagasan Aristoteles tentang Kebenaran pertama, tidak didasarkan atas ide-ide
Plotinus (204-270 M) sebagaimana kebanyakan failasuf Muslim sesudahnya.
Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran.
Karena itu, Al-Kindi menggambarkan metafisika sebagai pengetahuan yang paling
mulia, karena subjek kajiannya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua
realitas (Causa Prima). Berdasarkan hal ini, Al-Kindi kemudian mendefinisikan
metafisika sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiah, yang dalam konsep
Aristoteles disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak. Dalam segi agama,
argumen Al-Kindi sejalan dengan Ilmu Kalam; adanya alam mengharuskan adanya
pencipta, yang mencipta dari tiada (creatio ex nihilo). Namun, cakupan
kajiannya tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being qua being)
sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles, tetapi hanya terbatas pada masalah
Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatif-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam ciptaan. Artinya,
Al-Kindi mengikuti Aristoteles tetapi tidak sama persis. Dan disinilah
orisinilitas Al-Kindi.
Pandangan Al-Kindi mengenai epistemologi dapat
dikenali dari pandangannya mengenai filsafat. Filsafat dirumuskannya sebagai
berikut: “Filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut
kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu Ketuhanan, ilmu Keesaan (Wahdaniyah),
ilmu Keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara
memperolehnya, serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan”.
Al-Kindi membagi akal menjadi empat jenis:
akal murni, akal potensial, akal aktual, dan akal yang selalu tampil. Akal
murni berada di luar jiwa. Akal ini selalu aktif dan bersifat Ilahi.
Mengenai pengetahuan, Al-Kindi mengelompokkan
menjadi dua, yaitu: (1) Pengetahuan Ilahi (define science), yaitu
pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini
ialah keyakinan; (2) Pengetahuan Manusiawi (human science) atau
falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason). Argumen-argumen yang
dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada yang ditimbulkan filsafat. Kedua
pengetahuan ini tidak saling bertentangan, hanya dasar dan argumentasinya saja
yang berbeda. Dengan kata lain, pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang
menggunakan akal, sedangkan pengetahuan Ilahi berasal dari wahyu. Selanjutnya
Al-Kindi membagi pengetahuan manusiawi menjadi dua, aqli dan naqli.
Pengetahuan pertama dapat mengungkapkan hakikat sesuatu, sedangkan pengetahuan
terakhir hanya dapat mengungkapkan bagian-bagian sifat dari objeknya. Hakikat
yang dimaksud adalah sifat-sifat umum dari objek.[7]
Sedangkan mengenai etika, Al-Kindi dalam
filsafatnya mengatakan bahwa filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan
Tuhan sejauh dapat dijangkau kemampuan manusia. Maksud definisinya ini, manusia
memiliki keutamaan yang sempurna (keutamaan manusiawi). Al-Kindi berpendapat
bahwa keutamaan ini tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji.
Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, asas
dalam jiwa, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal), yang kemudian
dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (sajaah),
dan kesucian (‘iffah). Keutamaan kejiwaan tersebut merupakan benteng
keutamaan yang pada umumnya menjadi pemisah antara keutamaan dan kenistaan.
Dengan kata lain, menjadi induk dari keutamaan lainnya. Oleh karenanya, lebih
atau kurangnya tiga keutamaan tersebut dianggap sebagai kenistaan. Kedua,
keutamaan yang tidak terdapat di dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah
dari tiga keutamaan di atas. Ketiga, hasil kadaan lurus dari tiga
macam keutamaan di atas yang tercermin dalam keadilan.
Dari uraian tersebut, diperoleh konklusi bahwa
keutamaan-keutamaan manusiawi terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan dalam
buah yang dihasilkan oleh sifat-sifat tersebut. Jika orang hidup memenuhi
nilai-nilai tersebut, niscaya hasilnya ia akan hidup bahagia. Selagi manusia
menjadikan hidup bahagia sebagai tujuan akhir hidupnya, maka orang itu harus
membekali diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut.[8]
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi
adalah failasuf Islam yang mula-mula secara sadar mempertemukan ajaran-ajaran
Islam dengan filsafat Yunani. Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang
sama, diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis.
Oleh karenanya, menurutnya, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal
diluar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian,
Al-Kindi tidak sependapat dengan para failasuf Yunani dalam hal-hal yang dirasa
bertentangan dengan ajaran agama Islam yang diyakininya.